Sebagian besar warga pun marah saat melihat banyak mahasiswa baru peserta KBD dikasari dengan bentakan dan hukuman fisik yang berat. Mulyati, misalnya, bahkan sampai menangis saat melihat Fikri Dolasmantya Surya duduk selonjoran di teras warung kosong milik tetangganya dalam kondisi pucat dan sangat lemas pada Jumat sore, 11 Oktober 2013, atau sehari sebelum Fikri meninggal. Fikri tampak pucat dan sangat letih. (# Pelonco Maut ITN Malang)
"Mau ngasih minum saja dilarang panitia karena itu sudah aturannya buat pembentukan karakter. Saya sampai menangis di dapur. Saya membatin "jangan sampai anak-cucuku diperlakukan begitu". Kok bisa ya mereka tega begitu," kata Mulyati kepada Tempo pada Jumat pagi, 13 Desember 2013.
Selain kejadian itu, dia dan banyak warga kerap mendengar peserta KBD dibentak-bentak. Warga sempat melihat peserta KBD berguling-guling di jalan berpasir di siang hari sepanjang 30-40 meter. Ada juga yang disuruh push-up. Digambarkan pula betapa ketatnya panitia mengawasi. Selalu saja ada seorang pengawas yang menunggu di pintu toilet sambil menghitung sampai tiga saat mahasiswa pipis. Pengawas di pintu kamar mandi sesuai jenis kelamin.
"Kalau lewat sampai hitungan ketiga, pintu digedor-gedor. Saya sempat menegur panitia karena saya khawatir ada apa-apa di kamar mandi saya. Tapi dijawab tidak ada apa-apa. Seorang panitia bilang kepada saya bahwa mereka dulu juga dipelonco begitu. Padahal, ada beberapa peserta yang celananya basah, mungkin karena pipisnya belum selesai, atau celananya belum terkancing," kata dia.
Sutiyani mengangguk-angguk. Ibu dua anak ini menceritakan beberapa warga yang dilarang memberi makan dan minum kepada mahasiswa yang dipelonco. Beberapa mahasiswa memang mengaku tak berani menerimanya karena akan diganjar hukuman berat bila ketahuan.
"Tapi ada juga yang nyuri-nyuri makan-minum sedikit kok saat panitia lengah. Pintu kamar mandi dijagain biar adik-adik mahasiswa itu tidak minum, entah itu minum air pemberian warga atau minum air sumur. Ada peserta sampai bilang "aku bisa mati kalau begini terus", mungkin karena sudah enggak kuat," kata perempuan berumur 28 tahun itu.
Rasa marah dan iba juga dipunya Sih Panrimo, anggota Paguyuban Mitra Kelola Wanawisata Pantai Goa Cina. Panrimo bertubuh legam tinggi-besar dengan tato di sekujur badan. Ia bersama Maryono, ketua Paguyuban, sempat melihat Fikri dibanting dan ditendang di bagian rusuk kiri-kanan pada Kamis pagi, 10 Oktober. Pakaian Fikri sampai sobek-sobek dan kotor.
Berbeda dengan Maryono, Panrimo meninggalkan lokasi penganiayaan. "Saya tak tega, apalagi katanya itu sudah sesuai aturan," ujar Panrimo.
Sedangkan, Maryono yang bertubuh lebih kecil dan bertato di sekujur dada sempat menegur Natalia Damayanti, seorang panitia, karena dia dan kawan-kawan kejam menghukum Fikri hanya gara-gara mahasiswa bertubuh bongsor itu membuang nasi. Maryono bahkan melarang panitia menggelar hukuman di dekat bangunan kayu lima toilet.
"Pokoknya jangan dekat-dekat atau kelihatan saya. Setelah dilarang, mereka pindahkan kegiatan di luar barak di depan warung-warung atau di tempat lain yang tidak bisa sepenuhnya saya lihat," kata Maryono.
Marah dan iba warga makin bertambah pada Jumat, 11 Oktober. Sekitar pukul 11 siang, Maryono sempat melihat sejumlah mahasiswa, kebanyakan perempuan, yang pingsan di dekat portal loket masuk. Mereka ada yang dibonceng dengan sepeda motor dan diangkut dengan mobil pick-up ke barak induk. Total, panitia mendirikan empat barak ala militer.
Di sekitar pukul 15.00, Panrimo sempat melihat Fikri dikerubuti di depan warung milik Mbah Ri. Fikri terlihat lemas dan pucat, persis yang disaksikan Mulyati dari dekat. Dan, pada Sabtu, 12 Oktober, sekitar pukul 10 pagi, banyak panitia perempuan dan mahasiswa yang menangis. Cerita yang beredar di masyarakat, waktu itu Fikri sudah meninggal dan dibawa diam-diam dengan pick-up Panther biru ke Puskesmas Sitiarjo. Bak mobil ditutup dengan kain terpal.
0 komentar
Posting Komentar